Teori Tentang Pemberdayaan Pendidikan Dan Ekonomi Anak Yatim

Pemberdayaan anak yatim yang dimaksudkan dalam pembahasan ini adalah pemberdayaan pendidikan dan ekonomi anak yatim dalam kehdiupan bermasayarakat. Sebelum membahas mengenai hal-hal tersebut, kiranya lebih baik baik penulis untuk telebih dahulu pembahas pengertian anak yatim dalam sudut pandang Islam dan Negara. Adapun penjelasannya sebagai berikut:  
Pengertian Anak Yatim
Kata yatim ( يَتِيْم ) berasal dari kata yutm ( يُتٍمٌ ), yang berarti tersendiri, permata yang unik, yang tidak ada tandingannya. Yatim juga berarti seorang anak yang terpisah dari ayahnya (ditinggal mati) dan dalam keadaan belum dewasa (baligh) (Abdul Azizi, 1997:1962). Secara umum kata yatim bagi anak manusia adalah seseorang yang belum dewasa dan telah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia dinamakan demikian karena ia bagaikan sendirian, tak ada yang mengurusnya atau mengulurkan tangan (bantuan) kepadanya.

Dalam Ensiklopedi Islam (1996:206) dijelaskan bahwa yang dinamakan yatim adalah anak yang bapaknya telah meninggal dan belum baligh (dewasa), baik ia kaya ataupun miskin, laki-laki atau perempuan. Adapun anak yang bapak dan ibunya telah meninggal biasanya disebut yatim piatu, namun istilah ini hanya dikenal di Indonesia, sedangkan dalam literatur fikih klasik dikenal istilah yatim saja.

Menurut Raghib al-Isfahani, seorang ahli kamus al-Qur'an, bahwa istilah yatim bagi manusia digunakan untuk orang yang ditinggal mati ayahnya dalam keadaan belum dewasa, sedangkan bagi binatang yang disebut yatim adalah binatang yang ditinggal mati ibunya. Hal ini dapat dipahami karena pada kehidupan binatang yang bertanggung jawab mengurus dan memberi makan adalah induknya. Hal ini berbeda dengan manusia di mana yang berkewajiban memberi makan dan bertanggung jawab adalah ayahnya. Selanjutnya al-Isfahami mengatakan bahwa kata yatim itu digunakan untuk setiap orang yang hidup sendiri, tanpa kawan. Misalnya terlihat dalam ungkapan "Durrah Yatimah". kata Durrah (intan) disebut yatim, karena ia menyendiri dari segi sifat dan nilainya (Abdul Azizi, 1997:1962)

Undang-undang No. 23 tahun 2001 tentang perlindungan anak telah ditegaskan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan. Oleh karena itu, dari sini jelaslah sudah bahwa semua anak yang belum mencapai usia tersebut wajib dan harus mendapatkan perlindungan secara penuh baik itu oleh pemerintah maupun oleh semua lapisan masyarakat.

Pemberdayaan Pendidikan Anak Yatim
Salalah satu cara untuk dapat memperdayakan anak yatim dan piatu adalah dengan cara memberikan pendidikan terhadapnya. Karena hanya dengan pendidikanlah anak yatim dapat menjadi seseorang yang lebih baik nantinya dikemudian hari. Jika tujuan pendidikan diarahkan sebagaimana UUD RI 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 4 yang menyebutkan: 

“Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.

Maka dapat dipastikan bahwa tujuan pemberdayaan melalui pemberian pendidikan terhadap anak yatim pada dasarnya untuk menjadikan anak-anak yatim tersebut menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.

Dalam ajaran Islam pendidikan atau tarbiyah dan hal-hal yang berkaitan erat dengan kegiatan pendidikan lainnya, seperti mengajar atau memberikan pelajaran, belajar, dan penguasaan ilmu sangat dianjurkan sekali. Allah SWT berfirman dalam kitab-Nya: 

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ (لقمان 13)

Artinya : Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar (Qs Luqman 13) (Depag RI, 2012)

Berdasarkan firman Allah tersebut dapatlah dipahami bahwa mengajar adalah sesuatu hal yang penting yang harus dilakukan individu terhadap individu yang lainnya agar yang diberi pengajaran menjadi paham dan mengerti akan pentingnya sesuatu. Dalam kaitanya dengan pendidikan Islam, hal yang pertama-tama yang harus di ajarkan kepada peserta didik adalah mengenai ketuhanan atau aqidah sebagaiman yang di ajarkan Lukman kepada anaknya.

Selanjutnya dalam kaitannya dengan cara belajar dan bagaimana seharusnya seseorang belajar sesuatu tertentu, Allah SWT berfirman dalam kitab-Nya: 

..... فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ (النحل 43)

Artinya : …Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui (qs an-Nal 43) (Depag RI, 2012)

Berdasarkan firman Allah tersebut dapatlah dipahami bahwa dalam belajar hendaknya bagi peserta didik untuk belajar kepada orang yang mengetahui pengetahuan dengan benar, agar jangan sampai ilmu yang didapat tidak baik dan bermanfaat, atau dalam kata lain belajarlah pada pakarnya, seperti contoh belajar agama Islam tentu harus belajar kepada seorang yang alim terhadap ilmu agama.

Sementara itu dalam kaitannya dengan orang yang menguasai ilmu setelah mengikuti kegiatan pembelajaran, Nabi Muhamad SAW bersabda:

وَفَضْلُ اْلعَالِمِ عَلَى اْلعَابِدِ كَفَضْلِ اْلقَمَرِ عَلَى سَائِرُ اْلكَوَاكِبِ, إِنَّ العُلَمَاءَ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ, إِنَّ اْلأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْنَارًا وَلاَ دِرْهَمًا, إِنَّمَا وَرَّثُوْا اْلعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَهَ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ.

Artinya: Keutamaan orang yang berilmu dibanding dengan ahli ibadah, seperti keutamaan bulan purnama atas seluruh bintang-bintang. Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidaklah mewariskan dinar dan dirham, (tetapi) mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa mampu mengambilnya, berarti dia telah mengambil keberuntungan yang banyak [HR.Abu Dawud (3641), at-Tirmidzi(2682)].

Berdasarkan hadist di atas dapatlah diketahui bahwa seseorang yang berilmu amat begitu tinggi kedudukannya, terutama ilmu agama, bahkan dijelaskan secara jelas bahwa orang yang berilmu tersebut dikatakan sebagai pewaris nabi.

Berdasarkan dalil-dalil mengenai pendidikan yang telah penulis suguhkan di atas dapatlah diketahui bahwa Islam sangat mementingkan pendidikan dan bahkan pendidikan adalah hal utama yang harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari, agar semua manusia dapat hidup sebagaimana layaknya manusia yang beradab.

Dengan demikian maka untuk menjadikan anak yatim itu sebagai manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan yang maha esa, manusia yang berbudi pekerti luhur, manusia yang memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, menjadi anusia yang berkepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan, serta menjadi manusia yang berkedudukan tinggi, maka perlu diberdayakan pendidikannya, sebab dengan jalan pemberian pendidikan itulah anak-anak yatim yang kehilangan penuntun hidup dapat menemukan panutan dan penuntunnya.

Pemberdayaan Ekonomi Anak Yatim
Mengenai pemberdayaan perekonomian anak yatim, Islam tentu telah merinci hal-hal yang berkaitan dengan masalah tersebut.Dalam hal pemeliharaan harta anak yatim, Allah memperingatkan kepada para wali anak yatim agar tidak melakukan tipu daya memakan harta anak yatim dengan cara menukar harta yang baik dengan yang buruk dengan cara mencampur adukannya, karena hal tersebut adalah cara terselubung untuk melakukan tipu muslihat terhadap harta anak Yatim (Mahmud Syaltut, 1994: 353-354).

Sebagaimana dikatakan oleh para ulama Hanafiyah bahwa wali yatim tidak boleh mengambil atau memakan harta anak yatim baik dengan cara pinjam ataupun semata-mata mengambil baik dia itu kaya ataupun miskin. Hal ini tentunya mengambil dan memakan harta anak yatim dengan zhalim (Ali Ashabuni, 441). Karena berbicara mengenai wali yang diwasiatkan untuk memelihara anak yatim itu sebenarnya terbagi kepada dua katagori, yang pertama, wali yang kaya yang tidak membutuhkan lagi harta anak yatim yang diasuhnya, yang kedua, wali yang miskin, yang tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Dengan demikian mengambil sebagian harta anak yatim untuk digunakan bersama dalam kebajikan itu diperbolehkan.

Perintah memelihara dan menjaga harta-harta anak yatim tidak boleh memakannya secara zhalim, bahkan dilarangnya untuk mendekatinya kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat), sehingga anak-anak yatim tersebut dapat menerima harta-harta mereka secara utuh tanpa adanya pengurangan sedikitpun. Di saat mereka dipandang sudah mampu untuk memelihara dan mengelola dari hartaharta mereka sendiri, maka diserahkanlah atau dikembalikan harta-harta tersebut kepada mereka sesuai apa yang telah dipeliharanya, jangan sampai ada pengurangan-pengurangan dalam pengembalian harta-harta anak yatim tersebut.
Kemudian Allah SWT juga memerintahkan agar anak-anak yatim tersebut diuji dan dibimbing dalam hal mu’amalat sampai tiba saat masanya harta-harta tersebut dapat diserahkan kepada mereka (anak yatim). Firman Allah SWT dalam surah an-Nisa Ayat 6 menyebutkan:

وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا (النساء 6).

Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta ),maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari satu batas kepatutan dan janganlah kamu (tergesa-gesa membelanjakannya sebelum mereka dewasa. Barang siapa (diantara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu)dan barang siapa miskin,maka bolehlah ia makan harta anak itu menurut yang patut, kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagi pengawas (atas persaksian itu) (QS.An-Nisa 6 ) (Depag RI, 2012)

Allah SWT telah memeperingatkan agar seseorang jangan cobacoba menggunakan tipu-daya untuk memakan harta anak yatim dengan menukar atau menggantinya atau dengan cara mencampurnya, sebab cara penukaran dan pencampuran merupakan dua perbuatan yang biasanya mengandung banyak tipu-daya untuk memakan dan memusnahkan harta anak-anak yatim. Orang-orang yang menggunakan harta anak yatim tersebut mengatasnamakan jual-beli, perserikatan atau kongsi, dengan alasan mereka bahwa harta ini sangat berguna untuk anak-anak yatim dan ini lebih terhormat dan mulia untuk anak-anak yatim. 

Jadi tegaslah bahwa pelarangan memakan harta anak yatim itu adalah tidak diperbolehkan dengan cara yang dzalim. Sebagaimana firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 10, yang dengan tegas Allah melarang para wali yatim memakan harta anak yatim secara aniaya (zhalim), yang berbunyi:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا (النساء 10)

Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu memakan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk kedalam api yang menyalanyala (neraka) (Qs. An-Nisa : 10 ) (Depag RI, 2012)

Selanjutnya berkenaan dengan pemeliharaan anak yatim ini, al-Qur'an mengatur pula kepada kaum muslim terutama para wali dari anak yatim agar dapat mengembangkan harta anak yatim dan menyerahkan harta tersebut kepadanya ketika dianggap sang anak telah mampu untuk mengelolanya. Hal ini digambarkan oleh Allah dalam al-Qur'an pada surah an-Nisa ayat 5 yang berbunyi:

وَلا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا وَارْزُقُوهُمْ فِيهَا وَاكْسُوهُمْ وَقُولُوا لَهُمْ قَوْلا مَعْرُوفًا (النساء 5)

Artinya: Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akhlaknya, harta ( mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik (Qs. an-Nisa : 5) (Depag RI, 2012).

Dalam surah an-Nisa ayat 5, dinisbatkannya harta anak-anak yatim kepada para wali, walaupun harta itu adalah milik mereka (anak yatim) hal ini dimaksudkan agar harta tersebut dapat dimanfaatkan sebaik-baik mungkin. Seorang ulama besar abad pertengahan yaitu Fakhrudin ar-Razi (1994:186) mengatakan bahwa harta adalah sesuatu yang bermanfaat yang sangat dibutuhkan manusia, karena adanya kesatuan bentuk ini maka layak sekali kalau harta anak yatim yang masih belum cukup dewasa dinisbatkan kepada para walinya untuk dikelola dan dimanfaatkan demi memenuhi segala kebutuhan si anak yatim tersebut.

Kemudian Allah menyerukan pula kepada para wali yatim agar menyerahkan harta anak yatim yang diasuhnya ketika mereka telah mencapai usia yang dewasa atau telah mapan. Dan jangan sekali-kali menukar-nukar harta yang baik dengan yang buruk, sebagaimana firman Allah dalam surah an-Nisa ayat 2 yang berbunyi:

وَآتُوا الْيَتَامَى أَمْوَالَهُمْ وَلا تَتَبَدَّلُوا الْخَبِيثَ بِالطَّيِّبِ وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَهُمْ إِلَى أَمْوَالِكُمْ إِنَّهُ كَانَ حُوبًا كَبِيرًا (النساء 2)

Artinya : Dan berikanlah kepada anak anak yatim itu (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama harta kamu.sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar (Qs.An-Nisa: 2) (Depag RI, 2012).

Dan dalam ayat lain juga dijelaskan:
وَابْتَلُوا الْيَتَامَى حَتَّى إِذَا بَلَغُوا النِّكَاحَ فَإِنْ آنَسْتُمْ مِنْهُمْ رُشْدًا فَادْفَعُوا إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ وَلا تَأْكُلُوهَا إِسْرَافًا وَبِدَارًا أَنْ يَكْبَرُوا وَمَنْ كَانَ غَنِيًّا فَلْيَسْتَعْفِفْ وَمَنْ كَانَ فَقِيرًا فَلْيَأْكُلْ بِالْمَعْرُوفِ فَإِذَا دَفَعْتُمْ إِلَيْهِمْ أَمْوَالَهُمْ فَأَشْهِدُوا عَلَيْهِمْ وَكَفَى بِاللَّهِ حَسِيبًا (النساء 6)

Artinya: Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin.Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. Dan janganlah kamu makan harta anak yatim lebih dari satu batas kepatutan dan janganlah kamu (tergesa-gesa membelanjakannya sebelum mereka dewasa.Barang siapa (diantara pemelihara itu) mampu, maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan barang siapa miskin, maka bolehlah ia makan harta anak itu menurut yang patut, kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. Dan cukuplah Allah sebagi pengawas (atas persaksian itu) (QS.an-Nisa: 6) (Depag RI, 2012).

Berdasarkan penjelasan dalil-dalil al-Quran di atas dapatlah diketahui bahwa, dalam pengelolaan perekonomian harta anak yatim dan pemberdayaan ekonomianak yatim Islam menganjurkan agar pengelolaannya diserahkan kepada seseorang atu individu yang ditunjuk sebagai walinya (yang mewakili anak yatim) sampai pada anak yatim tersebut tumbuh menjadi dewasa  (Baligh) dan sanggup dalam  mengelolanya sendiri.
 

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel