Teori Tentang Cerpen Dalam Ilmu Sastra

Cerpen pada dasarnya merukan kependekan dari Cerita Pendek, memahi pengertian bahasanya saja sudah dapat kita memastikan bahwa Cerpen pada hakikatnya merupakan karya sastra, karena cerita semacam ini biasanya disuguhkan dalam karya tulis sastra. Adapun mengenai pengertian Cerpen dan hal-hal yang terkait dengannya akan dibahas sebagaimana dibawah ini:
Pengertian Cerpen
Menurut Sayuti (2000: 9), “cerpen merupakan karya prosa fiksi yang dapat selesai dibaca dalam sekali duduk dan ceritanya cukup dapat dapat membangkitkan efek tertentu dalam diri pembaca”. Dengan kata lain, sebuah kesan tunggal dapat diperoleh dalam sebuah cerpen dalam sekali baca. Selanjutnya Sayuti (200: 71) mengungkapkan bahwa “sebuah cerpen biasanya memiliki plot yang diarahkan pada insiden atau peristiwa tunggal”. Sebuah cerpen biasanya didasarkan pada insiden tunggal yang memiliki signifikansi besar bagi tokohnya. Di samping hal tersebut, kualitas watak tokoh dalam cerpen jarang dikembangkan secara penuh karena pengembangan semacam itu membutuhkan waktu, sementara pengarang sendiri sering kurang memiliki kesempatan untuk itu. Tokoh dalam cerpen biasanyalangsung ditunjukan karakternya.

Cerita pendek adalah cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur fiksi dalam aspeknya yang terkecil. Kependekan sebuah cerita pendek bukan karena bentuknya yang jauh lebih pendek dari novel, tetapi karena aspek masalahnya yang sangat dibatasi (Sumardjo, 1983: 69). Berdasarkan hal ini dapatlah dipahami bahwa cerpen adalah karya sastra rekaan yang kandungan kisah didalamnya dibati pada satu aspek bahasan saja.

Selanjutnya menurut Priyatni (2010: 126), “cerita pendek adalah salah satu bentuk karya fiksi’. Cerita pendek sesuai dengan namanya, memperlihatkan sifat yang serba pendek, baik peristiwa yang diungkapkan, isi cerita, jumlah pelaku, dan jumlah kata yang digunakan”. Perbandingan ini jika dikaitkan dengan bentuk prosa yang lain, misalnya novel.

Sesuai dengan namanya, cerita pendek dapat diartikan sebagai cerita berbentuk prosa yang pendek (Suyanto, 2012:46). Ukuran pendek di sisni bersifat relatif. Menurut Edgar Allan Poe dalam (Suyanto, 2012:46), sastrawan kenamaan Amerika, “ukuran pendek di sini adalah selesai dibaca dalam sekali duduk, yakni kira-kira kurang dari satu jam”. Adapun Jacob Sumardjo dan Saini K.M (1995: 30) dalam Suyanto (2012: 46) menilai “ukuran pendek ini lebih didasarkan pada keterbatasan pengembangan unsur-unsurnya”. Dengan demikian dapatlah dipahami bahwa cerpen harus memiliki efek tunggal dan tidak kompleks.

Selain itu cerpen juga memiliki unsur-unsur pembangun didalamnya yaitu unsur cerita (terdiri dari tokoh, alur, dan latar) dan sarana cerita (terdiri dari judul, sudut pandang, gaya dan nada, dan tema).

Tokoh Dalam Cerpen
Tokoh berkaitan erat dengan penokohan, yaitu cara menggambarkan tokoh dalam sebuah cerita fiksi. Sayuti (2000: 73-74) menyatakan bahwa “tokoh merupakan elemen struktural fiksi yang melahirkan peristiwa”. Menurut Abrams (Nurgiyantoro: 2010: 165), “tokoh cerita (character) adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama yang oleh pembacanya ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan”. Berdasarkan pememaparan para ahli mengenai pengertian tokoh di atas dapatlah dipahami bahwa tokoh dalam sebuah cerpen pada dasarnya adalah orang atau elemen structural dalam fiksi yang melahirkan sebuah peristiwa atau cerita.

Alur atau Plot Dalam Cerpen
Menurut Stanton (2007: 26), “alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita”. Menurut Sayuti (2000: 32) “alur dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian awal, bagian tengah (klimaks), dan bagian akhir (penyelesaian)”. Selanjtnya penjelasan mengenai bagian-bagian dalam sebuah dalur di jelaskan oleh Nurgiyantoro (2010: 143) yang menyatakan bahwa “bagian awal sebuah cerita biasanya disebut sebagai tahap perkenalan, tahap perkenalan pada umumnya  sejumlah infomasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya”. Masih menurut Nurgiyantoro (2010: 145) selanjutnya menyatakan bahwa: “Bagian tengah cerita disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Sedangkan bagian akhir cerita disebut sebagai tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks”

Berdasarkan penjelasan dia atas maka dapatlah dipahami bahwa pada dasarnya alur dalam sebuah cerpen merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita yang memiliki tiga bagian, yaitu bagian awal, tengah dan akhir.

Alur memiliki beberapa kaidah, yaitu plausibilitas (kemasukakalan), surprise (kejutan), suspense (rasa ingin tahu), dan unity (keutuhan) (Sayuti, 2000: 47-53). Plausibilitas (kemasukakalan) suatu cerita dikatakan masuk akal apabila cerita itu memiliki kebanaran, yakni benar bagi diri cerita itu sendiri. Surprise (kejutan), sesuatu yang telah mentradisi, yang telah mengkonvensi dalam penulisan karya fiksi, disimpang atau dilanggar dalam penulisan karya fiksi itu. Suspense (rasa ingin tahu), kaidah yang mengatur alur artinya ketidaktentuan harapan terhadap outcome atau hasil suatu cerita. Menurut Nurgiyantoro (2010:  138) “unity (keutuhan) merupakan berbagai unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwa-peristiwa fungsional, kaitan, dan acuan yang mengandung konflik atau seluruh pengalaman kehidupan yang hendak dikomunikasikan memiliki keterkaitan satu dengan yang lain”.

Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah kemudian disimpulkan bahwa alur atau plot dalam sebuah cerpen merupakan rangkaian peristiwa dalam sebuah cerita yang memiliki tiga bagian, yaitu bagian awal, tengah dan akhir dan bagian-bagian tersebut saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya.

Latar Dalam Cerpen
Latar dalam cerpen dikategorikan dalam tiga bagian yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. Latar tempat yaitu hal yang berkaitan dengan masalah geografis, latar waktu merupakan hal yang berkaitan dengan masalah historis, sedangkan latar sosial adalah latar yang berkaitan dengan kehidupan kemasyarakatan (Sayuti, 2007: 127). Menurut Stanton (2007: 35), “latar adalah lingkungan yang melingkupi sebuah peristiwa dalam cerita, semesta yang berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa yang sedang berlangsung”.

Beradsarkan penjelasan di atas dapatlah dipahami bahwa latar adalah peristiwa dalam sebuah cerita yang didalamnya terkandung latar waktu cerita, latar tempat cerita dan latar sosial cerita.

Judul Dalam Cerpen
Judul merupakan daya tarik utama bagi pembaca untuk membaca sebuah karya sastra terutama cerpen. Menurut Stanton (2007: 51) “kita mengira bahwa judul selalu relevan terhadap karya yang diampunya sehingga keduanya membentuk satu kesatuan, ketika judul mengacu pada sang karakter utama atau satu latar tertentu”. Menurut Wiyatmi (2006: 40), “judul dapat mengacu pada nama tokoh, latar, tema maupun kombinasi dari beberapa unsur tersebut". Sementara menurut Sayuti (2000: 147) bahwa “judul merupakan elemen lapisan luar suatu fiksi”.

Berdasarkan penjelasan para pakar di atas dapatlah dipahami bahwa judul dalam sebuah cerpen merupakan elemen lapisan luar fikisi yang pengambilanya mencacu pada nama tokoh, latar tema maupun kombinasi dari beberapa unsur yang terdapat dalam cerpen tersebut. 

Sudut Pandang Dalam Cerpen
Sudut pandang atau point of view mempersoalkan tentang siapa yang menceritakan atau dari posisi mana (siapa) peristiwa atau tindakan itu dilihat dalam sebuah karya fiksi (Sayuti, 2000: 157). Menurut Stanton (2007: 52), “posisi pusat kesadaran tempat kita dapat memahami setiap peristiwa dalam cerita, dinamakan sudut pandang”. Selanjutnya Stanton mengungkapkan bahwa “pengarang harus memilih sudut pandangnya dengan hati-hati agar cerita yang diutarakannya menimbulkan efek yang pas”.

Lazimnya sudut pandang yang umum dipergunakan oleh para pengarang dibagi menjadi empat jenis, yakni 1) sudut pandang first person-central atau akuan sertaan, tokoh sentral cerita adalah pengarang yang secara langsung terlihat di dalam cerita. 2) Sudut pandang first person peripheral atau akuan tak sertaan, tokoh “aku” biasanya hanya menjadi pembantu atau pengantar tokoh lain yang lebih penting, pencerita pada umumnya hanya muncul di awal atau akhir saja. 3) Sudut pandang third person omniscient atau diaan maha tahu, pengarang berada di luar cerita, dan biasanya pengarang hanya menjadi seorang pengamat yang maha tahu, bahkan mampu berdialog langsung dengan pembaca. 4) Sudut pandang third person limited atau diaan terbatas, pengarang mempergunakan orang ketiga sebagai pencerita yang terbatas hak berceritanya, di sini pengarang hanya menceritakan apa yang dialami oleh tokoh yang dijadikan tumpuan cerita (Sayuti, 2000: 159).

Berdasarkan penjelasan di atas dapatlah dipahami bahwa sudut pandang dalam sebuah cerpen bermaksud gambaran suatu peristiwa yang dimaenkan oleh tokoh-tokoh yang dimunculkan dalam cerpen berdasarkan kehendak pengarang.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel