Sejarah Perundang-Undangan Tentang Desa
03/06/18
Tulis Komentar
Sejarah
pemerintahan Desa di Indonesia sudah ada sejak pemerintahan Kolonial Belanda
karena Perundang-undangan yang mengatur tentang Desa sudah ada pada zaman
tersebut.Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang Desa sudah
mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan perkembangan zaman dan
kebutuhan.
Sejak
tahun 1906 hingga 1 Desember 1979 Pemerintahan Desa di Indonesia diatur oleh
Perundang-undangan yang dibuat oleh penjajah Kolonial Belanda, meskipun pada
tahun 1965 sudah ada Undang-undang No 19 Tahun 1965 tentang Desapraja tetapi
dengan dikeluarkannya Undang-undang No 6 Tahun 1969 yang menyatakan tidak
berlakunya berbagai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-undang maka Undang-undang No 19 Tahun 1965 dalam prakteknya tidak
berlaku walaupun secara yuridis Undang-undang tersebut masih berlaku hingga
terbentuknya Undang-undang yang baru yang mengatur tentang Pemerintahan Desa,
baru setelah 34 tahun merdeka Negara Indonesia memiliki Undang-undang
Pemerintahan Desa yang dibuat sendiri[1].
Adapun
perkembangan atau perubahan perundang-undangan tentang desa ini dapat
dijabarkan sebagai berikut.
Pemerintah Penjajah Belanda
Sebelum
lahirnya Undang-undang Pemerintahan Desa yang dibuat oleh Negara Indonesia.
Peraturan tentang pemerintahan Desa sebelumnya sudah ada sejak Indonesia
dijajah oleh Belanda, di dalam Pemerintahan Kolonial Belanda Pemerintahan Desa
diatur dengan:
Inlandsche Gemeente Ordonnantie (IGO)
yang berlaku untuk Jawa dan Madura (Staatsblad 1936 Nomor 83)
Inlandsche Gemeente Ordonnantie
Buitengawesten (IGOB) yang berlaku untuk Daerah luar Jawa dan Madura
(Staatsblad 1938 Nomor 490 Juncto Staatsblad 1938 Nomor 81)
Indische Staatsregeling (IS)
Pasal 728 ialah landasan peraturan yang menyatakan tentang wewenang warga
masyarakat Desa untuk memilih sendiri kepada Desa disukai, sesuai masing-masing
adat kebiasaan setempat.
Herziene Indonesia Reglement(
HIR), reglemen Indonesia baru (RIB) isinya mengenai Peraturan tentang hukum
acara perdata dan pidana pada pengadilan-pengadilan Negeri di Jawa dan Madura (
hanya sebagian yaitu pasal-pasal: 1(1), 3 s/d 23, 39(1), 41, 42, 43).
Sesudah kemerdekaan
Peraturan-peraturan tersebut pelaksanaannya harus berpedoman pada Pancasila dan
UUD 1945 yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah,
keputusan rembug Desa, dan sebagainya[2].
Pemerintah Penjajah Jepang
Pada
masa pendudukan militer Jepang tidak ada perubahan yang berarti terhadap
peraturan tentang Desa, kecuali hal-hal yang bertentangan dengan aturan
pemerintahan militer Jepang. Pernyataan tersebut merupakan amanat penguasa
militer Jepang yang dituangkan dituangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun
1942.
Berkaitan
dengan peraturan tentang Desa, penguasa militer Jepang hanya mengeluarkan satu
peraturan yaitu Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 2604 (1944).Peraturan
tersebut mengatur dan mengubah pemilihan Kepala Desa (ku tyoo) yang
menetapkan masa jabatan Kepala Desa menjadi (4) empat tahun[3].
Pasca Kemerdekaan
Kedudukan
Desa di Negara Indonesia sejak awal kemerdekaan telah diakui keberadaannya
dalam UUD 1945, setelah itu peraturan yang mengatur tentang Desa telah
mengalami banyak perubahan semenjak kemerdekaan yang diuraikan sebagai berikut
:
Undang-undang
Dasar Tahun 1945
Pengakuan
Indonesia terhadap kedudukan dan keberadaan Desa diatur dalam Pasal 18 UUD 1945
yang menyebutkan bahwa dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang
250 Zelfbesturrunde landschappen dan Volksgeemenschappen[4].
Pengakuan Negara Indonesia terhadap kedudukan dan keberadaan Desa juga
dipertegas dalam ketentuan pasal 18b (hasil amandemen II) yang berbunyi:
Negara mengakui dan menghormati
satuan-satuan pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa
yang diatur dalam undang-undang.
Negara mengakui dan menghormati
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah
Pengakuan
terhadap Desa di dalam Undang-undang ini tercantum di dalam Pasal 1 yang
menyebutkan bahwa Negara Indonesia disusun atas 3 tingkatan yaitu Provinsi,
Kabupaten, (kota besar), dan Desa (kota kecil) Negara, Marga dan sebagainya
yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Selanjutnya dalam
aturan peralihan Pasal 46 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang
Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa “segala daerah yang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri yang telah berdiri menurut UU No 1 Tahun 1945
diantaranya Desa, Marga, Nagari, dan sebagainya berjalan terus sehingga
diadakan pembentukan pemerintahan baru untuk daerah-daerah itu”.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965
tentang Desapraja, yang dalam ketentuan Pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud
dengan Desapraja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas
daerahnya, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, memilih
penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri.
Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1979
Pada tanggal 1 Desember 1979
Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan Desa dan sebagai pelaksana garis-garis
besar haluan Negara pengaturan tentang pemerintahan Desa, agar mampu
menggerakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dalam
menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif.
Ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 Tentang
Pemerintah Desa ini didasarkan atas politik stabilitas dan sentralisasi,
sehingga menghambat demokratisasi masyarakat desa[5].
Dengan diberlakukannya
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yang bertujuan untuk menciptakan kepastian
hukum dan menyeragamkan kedudukan pemerintah Desa dan ketentuan adat-istiadat
tang masih berlaku, maka secara otomatis semua kesatuan pemerintahan Desa yang
disebut marga dihapuskan dengan perangkat-perangkatnya yang ada dan sekaligus
dibentuk Pemerintahan Desa yang lingkup kekuasaan wilayahnya.
Secara substansial Undang-undang
ini sepenuhnya mencerminkan Stelsel dan pendekatan IGO dan IGOB yang memisahkan
pemerintahan Desa dari pemerintahan Daerah, semestinya pemerintahan Desa
menjadi bagian dari pemerintahan Daerah.36 Problematika hukum lain yang
prinsipal terdapat dalam Undang-undang No 5 Tahun 1979 yang mendapatkan
kritikan adalah penyeragaman (uniformitas) nama, bentuk, susunan, dan
kedudukan pemerintahan Desa, padahal dalam merumuskan arah kebijakan hukum
pemerintahan Desa perlu pengakuan dan penghormatan terhadap asal usul yang
bersifat istimewa pada eksistensi Desa, yakni dengan memperbolehkan penggunaan
nama seperti dusun, marga, nagari, meunasah, gampong, negorij dan lain
sebagainya yang mekanisme pemerintahan didasarkan pada adat istiadat
masing-masing[6].
Dalam sistem pemerintahan Desa
menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yang disebut dengan Pemerintahan Desa
adalah Kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa. Pemerintah desa dalam
melaksanakan tugasnya dibantu oleh Perangkat Desa yang terdiri dari Sekretariat
Desa dan kepala-kepala urusan yang merupakan staf membantu Kepala Desa dalam
menjalankan hak wewenang dan kewajiban pemerintahan Desa.Sekretaris Desa
sekaligus menjalankan tugas dan wewenang Kepala Desa sehari-hari apabila Kepala
Desaberhalangan.Pemerintahan Desa juga dilengkapi dengan Lembaga Musyawarah
Desa yang berfungsi menyalurkan pendapat masyarakat di Desa dengan
memusyawarahkan rencana yang diajukan Kepala Desa sebelum ditetapkan menjadi
ketetapan Desa[7].
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah.Di dalam Undang-undang ini juga menyebutkan tentang
Desa.Salah satu arah politik hukumnya adalah kembali memasukkan pengaturan
tentang pemerintahan Desa sebagai satu kesatuan yang integral dalam
undang-undang pemerintahan Daerah. Disamping itu, juga telah memperbolehkan
penggunaan nama yang berbeda-beda tentang Desa[8].
Hal tersebut terdapat dalam Pasal 1
huruf (o) yang bunyinya:” Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya
disebut dengan Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan
asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan
Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004 Tentang Pemerintahan Daerah hal-hal yang penting mengatur tentang Desa
adalah sebagai berikut:
Pengakuan dan penghormatan terhadap
kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.
Pengertian Desa dan kawasan
perdesaan.
Pembentukan, pembangunan, dan/atau
penghapusan desa.
System penyelenggaraan pemerintahan
desa dan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya.
Perangkat desa.
Keuangan desa.
Kerjasama desa.
Penyelnggaraan, pembinaan, dan
pengawasan serta pemberdayaan masyarakat desa.
Ketentuan-ketentuan tentang Desa
yang ada di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah
ini diperinci lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Desa. Pengertian tentang desa diatur di dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan
Pemerintah Nomo 72 Tahun 2005 tentang Desa yang bunyinya:” Desa atau yang
disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat
hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat
setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kestuan
Republik Indonesia”.
Salah satu yang menarik di dalam
Undang-undang No 32 Tahun 2004 adalah persyaratan bagi pemangku jabatan
sekretaris harus diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), sebuah
persyaratan yang belum pernah dilakukan dalam sejarah hukum pemerintahan Desa
di Indonesia, mutatis mutandis pada zaman Hindia Belanda dan masa penjajahan
Jepang[9].
[1] Daeng Sudirwo, 1981, Pokok-Pokok Pemerintahan Di
Daerah dan Pemerintahan Desa, Angkasa, Bandung, h. 41.
[2] Ibid. 45
[3] Amin Suprihatini, 2007, Pemerintahan
Desa dan Kelurahan, Cempaka Putih, Klaten, h. 13.
[4] Ibid 16
[5] Amin Suprihatini, op.cit,
hal. 15.
[6] Ateng Syafrudin dan Suprin Na‟a,
2010, Republik Desa (Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Modern Dalam
Desain Otonomi Desa), PT. Alumni, Bandung, h. 31.
[7] Widjaja, H. AW., 2002, Pemerintahan
Desa dan Administrasi Desa Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, PT
Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 4.
[8] Ateng Syafrudin dan Suprin Na‟a,
op.cit, h. 33.
[9] Ateng Syafrudin dan Suprin Na‟a,
loc.cit.
Belum ada Komentar untuk "Sejarah Perundang-Undangan Tentang Desa"
Posting Komentar