Sejarah Perundang-Undangan Tentang Desa

Sejarah pemerintahan Desa di Indonesia sudah ada sejak pemerintahan Kolonial Belanda karena Perundang-undangan yang mengatur tentang Desa sudah ada pada zaman tersebut.Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang Desa sudah mengalami beberapa kali perubahan sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan.

Sejak tahun 1906 hingga 1 Desember 1979 Pemerintahan Desa di Indonesia diatur oleh Perundang-undangan yang dibuat oleh penjajah Kolonial Belanda, meskipun pada tahun 1965 sudah ada Undang-undang No 19 Tahun 1965 tentang Desapraja tetapi dengan dikeluarkannya Undang-undang No 6 Tahun 1969 yang menyatakan tidak berlakunya berbagai Undang-undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang maka Undang-undang No 19 Tahun 1965 dalam prakteknya tidak berlaku walaupun secara yuridis Undang-undang tersebut masih berlaku hingga terbentuknya Undang-undang yang baru yang mengatur tentang Pemerintahan Desa, baru setelah 34 tahun merdeka Negara Indonesia memiliki Undang-undang Pemerintahan Desa yang dibuat sendiri[1].

Adapun perkembangan atau perubahan perundang-undangan tentang desa ini dapat dijabarkan sebagai berikut.

Pemerintah Penjajah Belanda

Sebelum lahirnya Undang-undang Pemerintahan Desa yang dibuat oleh Negara Indonesia. Peraturan tentang pemerintahan Desa sebelumnya sudah ada sejak Indonesia dijajah oleh Belanda, di dalam Pemerintahan Kolonial Belanda Pemerintahan Desa diatur dengan:
Inlandsche Gemeente Ordonnantie (IGO) yang berlaku untuk Jawa dan Madura (Staatsblad 1936 Nomor 83)
Inlandsche Gemeente Ordonnantie Buitengawesten (IGOB) yang berlaku untuk Daerah luar Jawa dan Madura (Staatsblad 1938 Nomor 490 Juncto Staatsblad 1938 Nomor 81)
Indische Staatsregeling (IS) Pasal 728 ialah landasan peraturan yang menyatakan tentang wewenang warga masyarakat Desa untuk memilih sendiri kepada Desa disukai, sesuai masing-masing adat kebiasaan setempat.
Herziene Indonesia Reglement( HIR), reglemen Indonesia baru (RIB) isinya mengenai Peraturan tentang hukum acara perdata dan pidana pada pengadilan-pengadilan Negeri di Jawa dan Madura ( hanya sebagian yaitu pasal-pasal: 1(1), 3 s/d 23, 39(1), 41, 42, 43).
Sesudah kemerdekaan Peraturan-peraturan tersebut pelaksanaannya harus berpedoman pada Pancasila dan UUD 1945 yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, keputusan rembug Desa, dan sebagainya[2].

Pemerintah Penjajah Jepang

Pada masa pendudukan militer Jepang tidak ada perubahan yang berarti terhadap peraturan tentang Desa, kecuali hal-hal yang bertentangan dengan aturan pemerintahan militer Jepang. Pernyataan tersebut merupakan amanat penguasa militer Jepang yang dituangkan dituangkan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1942.
Berkaitan dengan peraturan tentang Desa, penguasa militer Jepang hanya mengeluarkan satu peraturan yaitu Osamu Seirei Nomor 7 Tahun 2604 (1944).Peraturan tersebut mengatur dan mengubah pemilihan Kepala Desa (ku tyoo) yang menetapkan masa jabatan Kepala Desa menjadi (4) empat tahun[3].

Pasca Kemerdekaan

Kedudukan Desa di Negara Indonesia sejak awal kemerdekaan telah diakui keberadaannya dalam UUD 1945, setelah itu peraturan yang mengatur tentang Desa telah mengalami banyak perubahan semenjak kemerdekaan yang diuraikan sebagai berikut :
Undang-undang Dasar Tahun 1945
Pengakuan Indonesia terhadap kedudukan dan keberadaan Desa diatur dalam Pasal 18 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturrunde landschappen dan Volksgeemenschappen[4]

Pengakuan Negara Indonesia terhadap kedudukan dan keberadaan Desa juga dipertegas dalam ketentuan pasal 18b (hasil amandemen II) yang berbunyi:
Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dalam undang-undang. 

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisional sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah
Pengakuan terhadap Desa di dalam Undang-undang ini tercantum di dalam Pasal 1 yang menyebutkan bahwa Negara Indonesia disusun atas 3 tingkatan yaitu Provinsi, Kabupaten, (kota besar), dan Desa (kota kecil) Negara, Marga dan sebagainya yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Selanjutnya dalam aturan peralihan Pasal 46 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa “segala daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri yang telah berdiri menurut UU No 1 Tahun 1945 diantaranya Desa, Marga, Nagari, dan sebagainya berjalan terus sehingga diadakan pembentukan pemerintahan baru untuk daerah-daerah itu”.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965
Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desapraja, yang dalam ketentuan Pasal 1 menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan Desapraja adalah kesatuan masyarakat hukum yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, memilih penguasanya dan mempunyai harta benda sendiri.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979
Pada tanggal 1 Desember 1979 Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menetapkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan Desa dan sebagai pelaksana garis-garis besar haluan Negara pengaturan tentang pemerintahan Desa, agar mampu menggerakan masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan dalam menyelenggarakan administrasi Desa yang makin meluas dan efektif. Ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1979 Tentang Pemerintah Desa ini didasarkan atas politik stabilitas dan sentralisasi, sehingga menghambat demokratisasi masyarakat desa[5].

Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yang bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum dan menyeragamkan kedudukan pemerintah Desa dan ketentuan adat-istiadat tang masih berlaku, maka secara otomatis semua kesatuan pemerintahan Desa yang disebut marga dihapuskan dengan perangkat-perangkatnya yang ada dan sekaligus dibentuk Pemerintahan Desa yang lingkup kekuasaan wilayahnya.

Secara substansial Undang-undang ini sepenuhnya mencerminkan Stelsel dan pendekatan IGO dan IGOB yang memisahkan pemerintahan Desa dari pemerintahan Daerah, semestinya pemerintahan Desa menjadi bagian dari pemerintahan Daerah.36 Problematika hukum lain yang prinsipal terdapat dalam Undang-undang No 5 Tahun 1979 yang mendapatkan kritikan adalah penyeragaman (uniformitas) nama, bentuk, susunan, dan kedudukan pemerintahan Desa, padahal dalam merumuskan arah kebijakan hukum pemerintahan Desa perlu pengakuan dan penghormatan terhadap asal usul yang bersifat istimewa pada eksistensi Desa, yakni dengan memperbolehkan penggunaan nama seperti dusun, marga, nagari, meunasah, gampong, negorij dan lain sebagainya yang mekanisme pemerintahan didasarkan pada adat istiadat masing-masing[6].

Dalam sistem pemerintahan Desa menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yang disebut dengan Pemerintahan Desa adalah Kepala desa dan Lembaga Musyawarah Desa. Pemerintah desa dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh Perangkat Desa yang terdiri dari Sekretariat Desa dan kepala-kepala urusan yang merupakan staf membantu Kepala Desa dalam menjalankan hak wewenang dan kewajiban pemerintahan Desa.Sekretaris Desa sekaligus menjalankan tugas dan wewenang Kepala Desa sehari-hari apabila Kepala Desaberhalangan.Pemerintahan Desa juga dilengkapi dengan Lembaga Musyawarah Desa yang berfungsi menyalurkan pendapat masyarakat di Desa dengan memusyawarahkan rencana yang diajukan Kepala Desa sebelum ditetapkan menjadi ketetapan Desa[7].

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.Di dalam Undang-undang ini juga menyebutkan tentang Desa.Salah satu arah politik hukumnya adalah kembali memasukkan pengaturan tentang pemerintahan Desa sebagai satu kesatuan yang integral dalam undang-undang pemerintahan Daerah. Disamping itu, juga telah memperbolehkan penggunaan nama yang berbeda-beda tentang Desa[8]

Hal tersebut terdapat dalam Pasal 1 huruf (o) yang bunyinya:” Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut dengan Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah hal-hal yang penting mengatur tentang Desa adalah sebagai berikut:
Pengakuan dan penghormatan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya.
Pengertian Desa dan kawasan perdesaan.
Pembentukan, pembangunan, dan/atau penghapusan desa.
System penyelenggaraan pemerintahan desa dan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya.
Perangkat desa.
Keuangan desa.
Kerjasama desa.
Penyelnggaraan, pembinaan, dan pengawasan serta pemberdayaan masyarakat desa. 

Ketentuan-ketentuan tentang Desa yang ada di dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah ini diperinci lagi dengan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Pengertian tentang desa diatur di dalam Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomo 72 Tahun 2005 tentang Desa yang bunyinya:” Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kestuan Republik Indonesia”.

Salah satu yang menarik di dalam Undang-undang No 32 Tahun 2004 adalah persyaratan bagi pemangku jabatan sekretaris harus diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), sebuah persyaratan yang belum pernah dilakukan dalam sejarah hukum pemerintahan Desa di Indonesia, mutatis mutandis pada zaman Hindia Belanda dan masa penjajahan Jepang[9].


[1] Daeng Sudirwo, 1981, Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah dan Pemerintahan Desa, Angkasa, Bandung, h. 41. 
[2] Ibid.  45
[3] Amin Suprihatini, 2007, Pemerintahan Desa dan Kelurahan, Cempaka Putih, Klaten, h. 13.
[4] Ibid 16
[5] Amin Suprihatini, op.cit, hal. 15. 
[6] Ateng Syafrudin dan Suprin Na‟a, 2010, Republik Desa (Pergulatan Hukum Tradisional dan Hukum Modern Dalam Desain Otonomi Desa), PT. Alumni, Bandung, h. 31. 
[7] Widjaja, H. AW., 2002, Pemerintahan Desa dan Administrasi Desa Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 4. 
[8] Ateng Syafrudin dan Suprin Na‟a, op.cit, h. 33. 
[9] Ateng Syafrudin dan Suprin Na‟a, loc.cit. 

Belum ada Komentar untuk "Sejarah Perundang-Undangan Tentang Desa"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel