Hubungan Antara Komunikasi Organisasi Dengan Burnout Pada Perawat Pelaksana Di Ruang Perawat RS.Ciremai Kota Cirebon Tahun 2022

BAB I

PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang

Keperawatan adalah salah satu profesi di rumah sakit yang berperan penting dalam upaya menjaga mutu pelayanan kesehatan di rumah sakit. Hal ini sesuai dengan standar evaluasi dan pengendalian mutu keperawatan yang mana didalamnya dijelaskan bahwa pelayanan keperawatan menjamin adanya asuhan keperawatan yang bermutu tinggi dengan terus-menerus melibatkan diri dalam program pengendalian mutu di rumah sakit. Untuk itu, perawat berkerja secara holistik dengan memberikan perawatan, edukasi, motivasi, bahkan sebagai advokat dan membantu menentukan kebijakan yang berpengaruh terhadap kesehatan baik dirumah sakit dan masyarakat. Oleh karena itu, perawat tentu memiliki peran dan tanggung jawab yang besar terhadap beban kerja dan mempengaruhi kondisi fisik dan emosionalnya sendiri. (Aditama, 2003)

Meskipun perawat telah terbiasa bekerja dengan peran dan tanggung jawab yang banyak, akan tetapi apabila tugas dan tanggung jawab yang diemban perawat berlebihan maka akan berdampak pada kondisi fisik dan emosionalnya, terutama kelelahan emosional, depersonalisasi, serta penurunan prestasi kerja, pada kondisi tersebut perawat dapat dinyatakan mengalami burnout. Menurut Purnamawat (2015) bahwa yang dimaksud dengan burnout adalah keadaan stress secara psikologis yang sangat ekstrem sehingga individu mengalami kelelahan emosional dan motivasi yang rendah untuk bekerja, burnout juga merupakan akibat dari stress kerja yang kronis. 

Sejalan dengan itu, dibandingkan dengan tenaga kesehatan yang lain, perawat memiliki tingkat burnout yang paling tinggi, hal tersebut karena perawat selalu kontak langsung dengan klien, menghabiskan waktu dengan klien, dan secara konstan terpajang ketegangan akan rasa sakit dan kematian. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Galindo dan Feliciano (2012) yang berjudul Burnout syndrome among nurses in a general hospital in the city of Recife, menyatakan bahwa prevalensi burnout pada perawat berkisar antara 30-80%. 

Selain itu, dalam penelitian yang dilakukan oleh Demerouti (2001) juga mendeskripsikan profesi perawat sangat rentan terhadap burnout dengan tingkat stress dalam tuntutan kerja yang berat, baik secara emosi dan fisik. Klien yang mendapatkan perawatan dari perawat harus menghadapi kondisi yang sulit untuk mempertahankan hidupnya sehingga sangat bergantung terhadap dukungan fisik dan emosional dari perawat. Selain hal tersebut, shift kerja dan kurangnya penghargaan yang diberikan terhadap perawat, baik dari segi kurang baiknya manajemen kerja, gaji yang dibayarkan, dan lainnya akan meningkatkan potensi burnout dikalangan perawat.

Selaras dengan pendapat di atas, bahwa burnout juga terjadi pada perawat di Indonesia, hal ini terungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh Suharti (2013), yang menyatakan bahwa dari 110 perawat yang berkerja di Rumah Sakit Metropolitan Medical Center Jakata bagian UGD, Unit Operasi, Unit Rawat Jalan, Unit Rawat Inap, ICU, terdapat 98 orang perawat yang mengalami burnout tingkat sedang.

Menurut Ekawati (2019), bahwa banyak hal yang mempengaruhi burnout di rumah sakit, diantaranya ada beberapa faktor, yaitu beban kerja yang fluktuatif, shif kerja yang panjang, kurangnya waktu istirahat, tuntutan pimpinan dan keluarga pasien, serta karakteristik pasien yang mengakibatkan kelelahan, tekanan, dan stress sehingga terjadi burnout pada perawat. 

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Dehaghani (2006) memperlihatkan hubungan yang signifikan antara komunikasi interpersonal kepala perawat dengan kepuasan kerja perawat. Selanjutnya dalan penelitian yang dilakukan oleh Lolita (2004) juga menunjukkan jika komunikasi organisasi berkontribusi terhadap kepuasan kerja perawat. Sementara dalam penelitian yang dilakukan oleh Ekawati (2019), bahwa burnout perawat berhubungan dengan komunikasi terapeutik.

Berdasarkan beberapa hal yang mempengaruhi dan berhubungan dengan burnout perawat sebagaimana yang dijelaskan di atas, dapat dipahami jika burnout perawat pada dasarnya berhubungan dengan komunikasi. Dalam kaitannya dengan macamanya, komunikasi jelas banyak ragamnya dan salah satunya adalah komunikasi organisasi. 

Komunikasi merupakan pertukaran informasi antara dua orang atau lebih, atau disebut juga pertukaran ide dan pikiran yang disampaikan oleh penyampai pesan kepada penerima pesan agar informasi tersebut dapat mengubah sikap dan perilaku (Andriyani, Darmawan, & Hidayati, 2018). Sementara yang dimaksud dengan organisasi merupakan sekelompok orang yang bekerja sama dan saling bergantung untuk mencapai tujuan bersama (Duha, 2018). Dengan demikian yang dimaksud dengan komunikasi organisasi pada dasarnya adalah pertukaran informasi antara satu atau sekelompok orang yang bekerja dalam tempat kerja.

Menurut Robbins & Judge (2017) bahwa fungsi utama komunikasi di dalam kelompok atau organisasi yaitu pengendalian, motivasi, pernyataan emosional dan informasi. Sementara menurut Liliweri (2013), komunikasi organisasi bertujuan untuk memudahkan, melaksanakan, dan melancarkan jalannya suatu organisasi.

Memahami dari fungsi serta tujuan dari komunikasi organisasi sebagaimana yang dijelaskan oleh kedua ahli di atas, dapatlah dipahami jika komunikasi berhubungan dengan tinggi rendahnya burnout. Begitupun dengan tinggi dan rendahnya burnout perawat dalam rumah sakit. Apabila komunikasi organisasi berjalan lancar maka jelas dapat berfungsi mengendalikan, memotivasi perawat dalam bekerja, juga dapat memudahkan dan melancarkan kerja perawat. Oleh karena itu, dapat juga dinyatakan akan kecil kemungkinan seorang perawat akan mengalami burnout jika dalam bekerja motivasinya tinggi serta juga mudah dalam mengerjakan setiap pekerjaan yang dilakukannya. 

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada 22 Februari 2022 melalui kegiatan wawancara yang dilakukan peneliti dengan beberapa perawat di RS Ciremai Kota Cirebon, didapat beberapa jawaban, bahwa motivasi perawat, khususnya yang baru bekerja cenderung menurun dari hari ke hari, dikarenakan beban kerja dianggap begitu berat, karena banyak perawat senior biasa dengan mudahnya memerintah-merintah perawat baru dengan komunikasi yang tidak jelas, perintah terkadang tidak sejalan dengan apa yang dikomunikasikan oleh organiasi pada para perawat baru, ditambah-tambah lagi perawat baru merasa kurangnya penghargaan yang diberikan organiasi atas kinerja yang dilakukan oleh perawat baru, baik dari segi gaji maupun bonus. Sementara disisi lain, dalam sesi wawancara itu juga didapati jawaban dari perwat lain, khususnya perawat senior yang menyatakan bahwa mereka senang dalam bekerja, motivasinya tinggi, karena selain mendapatkan gaji yang memadai, serta sudah terbiasa melakukan pekerjaan, mereka juga terbantu dengan para perawat baru dan perawat magang yang mereka anggap sebagai mitra kerja yang dapat mempermudah kerja mereka.

Berdasarkan penemuan masalah pada studi pendahuluan yang dilakukan melalui kegiatan wawancara belum tergambar secara jelas apakah para perawat di RS Ciremai Cirebon mengalami burnout atau tidak, sebab meskipun gejala burnout ditemukan pada sebagaian perawat dengan indikasi menurunya motivasi kerja dari waktu ke waktu namun pada sebagian perawat lain tidak ditemukan gejala-gela burnout pada mereka, selain itu belum juga ditemukan secara pasti apakah komunikasi organiasi yang berjalan di RS Ciremai Kota Cirebon berhubungan dengan burnout perawat atau tidak. Oleh karena itu, guna mengetahui secara pasti apakah terdapat hubungan antara komunikasi dengan burnout pada perawat di RS Ciremai Kota Cirebon, peneliti mengangkat tema penelitian dengan judul “Hubungan Antara Komunikasi Organisasi Dengan Burnout Pada Perawat Pelaksana Di Ruang Perawat RS.Ciremai Kota Cirebon Tahun 2022”

Belum ada Komentar untuk "Hubungan Antara Komunikasi Organisasi Dengan Burnout Pada Perawat Pelaksana Di Ruang Perawat RS.Ciremai Kota Cirebon Tahun 2022"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel